Dua guru SMA di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, telah dipecat setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung. Abdul Muis dan Rasnal terlibat dalam kasus pungutan dana Rp20 ribu dari orang tua siswa untuk membantu gaji 10 guru honorer yang tak terbayar selama sepuluh bulan.
Kabar mengenai pemecatan ini pertama kali disampaikan oleh Persatuan Guru Indonesia (PGRI) Luwu Utara. Ketua PGRI, Ismaruddin, mengungkap bahwa kedua guru tersebut diberhentikan secara tidak hormat, dan ini menjadi perhatian publik yang cukup besar.
Kasus ini menyoroti isu yang lebih luas tentang pendanaan pendidikan dan nasib guru honorer di Indonesia. Tindakan yang diambil terhadap Abdul Muis dan Rasnal memicu diskusi tentang etika dan tanggung jawab dalam pengelolaan dana pendidikan di sekolah-sekolah.
Pemecatan Guru dan Proses Hukum yang Mengikutinya
Menurut Supri Balantja, yang merupakan mantan anggota Komite Sekolah SMAN 1 Luwu Utara, kasus ini berawal pada tahun 2018. Rasnal, saat itu menjabat Kepala Sekolah, mengusulkan kepada orang tua siswa untuk membantu membiayai gaji para guru honorer.
Usulan ini disetujui oleh komite sekolah dan orang tua murid yang sepakat untuk melakukan sumbangan bergotong royong. Namun, keputusan ini berujung pada laporan dan kasus hukum yang membelit kedua guru tersebut.
Salah satu lembaga swadaya masyarakat melaporkan mereka ke polisi dengan tuduhan tindak pidana korupsi. Proses hukum ini berlangsung panjang dan kontroversial, di mana berkas perkara beberapa kali dikembalikan oleh jaksa karena dianggap kurang bukti.
Namun, proses hukum berlanjut dan memunculkan keputusan yang mengejutkan. Di tengah berbagai suka dan duka, Rasnal dan Muis akhirnya divonis bersalah setelah pihak kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada 23 Oktober 2023, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang menghukum kedua guru tersebut dengan satu tahun penjara. Keputusan ini tak ayal menimbulkan polemik di kalangan warga dan kolega mereka.
Respon Masyarakat dan Dampak terhadap Dunia Pendidikan
Keputusan pemecatan dan hukuman penjara bagi Abdul Muis dan Rasnal mendapat banyak reaksi dari masyarakat. Banyak yang merasa bahwa tindakan tersebut tidak adil dan cenderung menyudutkan bagi mereka yang berusaha membantu pendidikan di daerah. Supri menegaskan bahwa tindakan pengumpulan dana tersebut merupakan wujud kepedulian terhadap sesama guru.
Banyak guru dan aktivis pendidikan merasa tersentuh dengan nasib abu guru ini. Mereka menilai tindakan ini mencederai dunia pendidikan dan menciptakan suasana yang menakutkan bagi para pendidik di Indonesia.
Beberapa pihak berpendapat bahwa tindakan hukum yang diambil seharusnya lebih bersifat pembinaan daripada penghukuman. Penilaian ini lebih menekankan pentingnya memahami konteks dan latar belakang pengumpulan dana tersebut sebagai upaya untuk menjaga kualitas pendidikan.
Terlebih lagi, dengan masalah pendanaan yang sering dihadapi oleh sekolah-sekolah di daerah, sumbangan dari orang tua murid menjadi penting. Hal ini menciptakan dilema etis di mana guru harus mempertanggungjawabkan kebijakan yang bahkan tidak dia buat sendiri.
Risiko hukuman bagi guru dapat menimbulkan ketakutan di kalangan pendidik lainnya. Ini membuat mereka enggan mengambil langkah-langkah yang mungkin dianggap berisiko di masa depan.
Penjelasan Resmi Dinas Pendidikan dan Tanggapan PGRI
PGRI Luwu Utara menyatakan bahwa proses pemecatan yang dilakukan oleh pemerintah tidak mencerminkan rasa keadilan. Dalam penjelasannya, Ismaruddin mengatakan seharusnya ada proses pembinaan sebelum menerapkan hukuman berat kepada guru-guru tersebut.
Pihaknya bahkan berencana mengajukan permohonan pengampunan kepada Presiden RI agar keduanya diberikan grasi. Harapan ini mencerminkan kepedulian terhadap nasib guru yang seharusnya dihargai, bukan dihukum.
Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, Iqbal Nadjamuddin, menegaskan bahwa keputusan pemberhentian itu merupakan tindak lanjut dari putusan hukum yang telah inkrah. Prosedur yang diambil dinilai sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Menurut Iqbal, laporan hasil pemeriksaan dari Inspektorat juga menjadi dasar hukum dalam pemecatan ini. Termasuk, dalam prosesnya mengacu pada Undang-Undang ASN dan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Negara.
Dengan beragam opini dan pandangan yang muncul, tampaknya masalah ini akan terus mengemuka seiring dengan berkembangnya diskusi tentang etika, tanggung jawab, dan keadilan dalam dunia pendidikan di Indonesia.













