Kemelut yang terjadi dalam keluarga Keraton Surakarta kembali memanas seiring dengan penobatan KGPH Hangabehi alias Mangkubumi sebagai raja baru. Keretakan dalam internal keluarga ini melibatkan klaim sah terhadap tahta yang telah diperebutkan oleh dua putra mendiang Pakubuwana XIII, yakni Mangkubumi dan Purbaya. Situasi ini menambah komplikasi dalam sejarah panjang Keraton Surakarta yang telah menghadapi perselisihan serupa.
Terkait dengan penobatan Mangkubumi, Purbaya, sebagai kakak bungsunya, tegas menolak dan menganggap proses penobatan itu tidak sah. Menurut Purbaya, konflik ini harus diselesaikan melalui jalur hukum mengingat usaha penyelesaian secara kekeluargaan tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
GKR Timoer Rumbay Kusuma Dewayani, sebagai perwakilan dari Purbaya, menyatakan bahwa upaya untuk menghindari konflik lebih lanjut telah dilakukan. Namun, negosiasi yang dilakukan bersama Mangkubumi dan pendukungnya tidak menghasilkan kesepakatan yang diinginkan semua pihak.
Kronologi Perseteruan Tahta di Keraton Surakarta
Sejarah panjang Keraton Surakarta mencatat adanya dualisme dalam kepemimpinan, terutama sepeninggal Pakubuwana XII. Pasca wafatnya, dua putra dari pernikahan yang berbeda, Mangkubumi dan KGPH Tedjowulan, masing-masing mengklaim haknya untuk menjadi raja. Ini menandai awal dari perseteruan panjang yang hingga kini belum terselesaikan.
Setelah Pakubuwana XIII meninggal dunia, ketegangan dalam keluarga semakin memuncak. Masing-masing pihak merasa memiliki legitimasi untuk mengisi kursi tahta yang kosong. Ketika Purbaya mendeklarasikan dirinya sebagai Pakubuwana XIV di depan jenazah ayahnya, Mangkubumi pun tidak tinggal diam dan merebut momen yang sama untuk mengklaim gelar yang sama.
Dampak Sosial dan Budaya dari Konflik ini
Konflik di dalam Keraton Surakarta mengundang perhatian publik dan membawa dampak besar bagi masyarakat. Selama ini, Keraton Surakarta merupakan simbol budaya dan sejarah yang sangat dihormati. Ketegangan di dalamnya, sayangnya, bisa mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap tradisi dan nilai-nilai keraton.
Sikap keras kepala dari kedua belah pihak dan ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan telah menciptakan ketidakpastian. Warga keraton dan masyarakat luas yang mengikuti perkembangan ini merasa cemas akan masa depan tradisi budaya yang telah berlangsung lama.
Purbaya mencatatkan kerisauannya akan hal ini, menyatakan betapa pentingnya persatuan di dalam keluarga keraton untuk menjaga kelestarian budaya. “Kami berusaha untuk tetap merangkul dan menyatukan, tetapi tampaknya ada pihak yang lebih memilih jalan yang menegangkan ini,” ujarnya.
Upaya Penyelesaian dan Harapan di Masa Depan
Setelah beberapa pertemuan yang diadakan, Timoer mengungkapkan harapan bahwa dialog antar pihak mungkin dapat mengarah pada penyelesaian damai. Mereka terus berusaha menyempatkan waktu untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif demi kepentingan keluarga dan keraton.
Sayangnya, setiap upaya tampak sia-sia ketika masing-masing pihak tetap pada pendiriannya. Mangkubumi dan Purbaya bersikeras dengan posisi mereka, bahkan setelah beberapa kali pertemuan dilakukan. Hal ini menjadikan jalan menuju resolusi semakin panjang.
Harapan akan adanya keadilan dan penyelesaian konflik tetap ada, dengan masyarakat menunggu hasil dari langkah hukum yang telah diambil. Apakah langkah ini akan membawa kedamaian ke dalam keluarga keraton, atau justru semakin memperuncing situasi, masih harus dilihat.













