Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akan menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang pada hari Selasa yang akan datang. Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurizal, menyatakan bahwa pimpinan DPR telah merencanakan pengesahan tersebut setelah melakukan rapat pimpinan.
“Proses ini sudah mencapai tahap satu dan telah menyepakati pembahasan lebih lanjut. Agenda ini dijadwalkan pada pertemuan paripurna mendatang,” ungkap Cucun di kompleks parlemen Jakarta. Ia menambahkan bahwa rapat pimpinan juga telah memutuskan jalur ke arah pengesahan ini.
Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) RKUHAP di Komisi III DPR telah menandatangani kesepakatan untuk membawa RUU tersebut ke rapat paripurna. Ini merupakan langkah penting dalam proses legislasi di DPR yang melibatkan berbagai fraksi di dalamnya.
Proses Legislasi RKUHAP di Parlemen
Pembahasan RKUHAP telah mendapatkan dukungan dari semua fraksi di Komisi III, dan pengesahan ini dianggap mendesak. Hal ini dikarenakan RKUHAP sudah berusia 44 tahun sejak pertama kali disahkan pada era Presiden Soeharto di tahun 1981.
Melalui revisi ini, sejumlah substansi hukum akan diupdate, termasuk penyesuaian dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Beberapa fokus perubahan mencakup perbaikan kewenangan penyelidik dan penyidik, serta penguatan hak-hak tersangka dan terdakwa yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, saat memimpin rapat meminta persetujuan anggota untuk melanjutkan pembicaraan di tingkat dua. Sebagian anggota rapat menyatakan setuju untuk membawa RKUHAP ke agenda paripurna sesegera mungkin.
Respon Koalisi Masyarakat Sipil Terhadap RKUHAP
Di sisi lain, koalisi masyarakat sipil menyuarakan keberatan atas proses pembahasan RKUHAP yang mereka anggap cacat. Dalam konferensi pers pada Minggu, mereka menegaskan adanya sejumlah masalah substansial yang mengharuskan pengesahan tersebut ditunda.
“Kami memandang bahwa beberapa aspek mendasar dalam RKUHAP masih bermasalah. Kami mendesak pihak legislator serta pemerintah untuk menghentikan proses ini,” jelas Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana. Mereka berupaya memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislatif.
Koalisi juga merasa dicatut dalam usaha pembuat undang-undang. Mereka mencatat bahwa masukan mereka tidak sepenuhnya diakomodasi dalam naskah yang dibahas di Panja.
Aspirasi dan Keterlibatan Masyarakat Dalam RKUHAP
Dalam rapat Panja yang berlangsung, pemerintah dan DPR mengklaim bahwa mereka telah mempertimbangkan masukan dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Namun, itu menjadi sorotan bagi pihak koalisi yang merasakan adanya ketidaksesuaian dalam pelaksanaan.
Arif Maulana menegaskan bahwa banyak pasal yang ditampilkan dalam rapat tidak sesuai dengan masukan asli mereka. Hal ini mengindikasikan adanya manipulasi dalam penyampaian aspirasi masyarakat.
“Rapat tersebut telah berfungsi sebagai alat untuk menciptakan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodasi semua masukan,” paparnya lagi. Mereka sedang berusaha untuk menyampaikan kekecewaan atas proses yang dianggap tidak substansial ini.
Pendidikan dan Kesadaran Hukum di Kalangan Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi, seperti dalam pembahasan RKUHAP, sangat penting untuk menciptakan hukum yang adil. Adanya kesadaran hukum di kalangan masyarakat diharapkan bisa meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam penyusunan berbagai undang-undang.
Dalam konteks ini, pendidikan hukum menjadi salah satu kunci. Pemerintah dan penyelenggara hukum diharapkan untuk lebih aktif dalam menyosialisasikan perubahan yang ada dan mendengarkan suara serta kebutuhan masyarakat secara langsung.
Kesiapan masyarakat untuk memberikan masukan juga akan membantu dalam menciptakan regulasi yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan praktik hukum di lapangan.













