Pembicaraan mengenai isu penurunan fertilitas semakin mendominasi di berbagai kalangan, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Wihaji, memandang fenomena ini bukan sebagai ancaman, namun sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Penurunannya yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menunjukkan adanya perubahan pola pikir masyarakat terkait perencanaan keluarga. Data terbaru mengungkapkan bahwa sekitar 71 ribu perempuan di Indonesia menikah tanpa keinginan memiliki anak, sebuah realitas yang menuntut perhatian lebih dalam menentukan kebijakan baru.
Wihaji menegaskan bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang terus berlangsung saat ini mengharuskan kita untuk beradaptasi dengan kebijakan yang lebih progresif dan responsif. Ini bukan hanya sekadar masalah kesehatan, tetapi juga menyangkut aspek ekonomi dan pembangunan sosial yang lebih luas.
Pentingnya Memahami Penurunan Fertilitas dalam Konteks Pembangunan
Penurunan angka kelahiran seringkali dianggap sebagai hal negatif, namun Wihaji mengajak kita untuk melihatnya dari sudut pandang yang lebih positif. Ia mengatakan, “Ini adalah realitas baru yang memerlukan pemahaman mendalam tentang bagaimana menciptakan peluang untuk pembangunan sumber daya manusia yang unggul.”
Dengan mendekati isu ini dari perspektif pembangunan, kita bisa menciptakan solusi yang inovatif. Kebijakan yang adaptif dan inklusif diperlukan untuk memenuhi tantangan-tantangan baru yang dihadapi masyarakat saat ini.
Wihaji meneruskan dengan menekankan peran keluarga berencana yang tetap penting meski dianggap sudah ketinggalan zaman. Keluarga berencana bukan sekadar jargon, melainkan suatu pendekatan strategis yang bisa membantu masyarakat prasejahtera keluar dari kemiskinan.
Strategi Menghadapi Penurunan Fertilitas di Indonesia
Menurunnya fertilitas di Indonesia memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan komprehensif dari berbagai sektor. Salah satu langkah penting adalah peningkatan akses terhadap metode kontrasepsi yang sesuai, agar setiap pasangan dapat merencanakan keluarga mereka dengan lebih baik.
Pengendalian kelahiran harus dilihat sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi dan sosial, bukan hanya isu kesehatan semata. Dalam hal ini, tugas Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga adalah memastikan bahwa kebijakan yang diambil mampu menciptakan hasil yang baik bagi masyarakat.
Wihaji mencatat bahwa kualitas generasi mendatang sangat bergantung pada pengelolaan aspek fertilitas yang holistik. Keluarga berencana dan pendidikan kesehatan reproduksi menjadi bagian integral dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Peran Keluarga Berencana dalam Meningkatkan Kualitas SDM
Menurut Wihaji, pengelolaan fertilitas yang baik dapat mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan, keterampilan, dan kesehatan mental adalah aspek yang perlu diperhatikan agar generasi mendatang dapat bersaing di tingkat global.
Dia juga menegaskan bahwa isu kontrasepsi adalah bagian dari kebijakan besar yang lebih luas, bertujuan untuk membangun bangsa yang lebih sehat dan berdaya. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mencapai tujuan ini.
Keberhasilan program keluarga berencana tidak hanya diukur dengan angka kelahiran, tetapi lebih kepada dampak sosial dan ekonomi yang dihasilkan. Ini mencakup peningkatan kesejahteraan, pengurangan angka kemiskinan, dan perbaikan kualitas hidup secara keseluruhan.













