Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan keprihatinan yang mendalam terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang ini. RUU KUHAP dianggap cacat secara formil dan materiil, sehingga mereka mendesak untuk menunda prosesnya.
Melalui pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, koalisi meminta agar Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI mempertimbangkan kembali pembahasan yang sedang berlangsung. Mereka menginginkan agar RUU ini dibahas dengan lebih cermat dan menyeluruh.
Arif menekankan bahwa terdapat banyak masalah substansi dalam RUU KUHAP yang perlu diperhatikan. Dengan mendesak penghentian proses pembahasan, mereka berharap legislator dapat lebih akomodatif terhadap suara masyarakat.
Proses Pembahasan RUU KUHAP yang Mengundang Kontroversi
Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada tanggal 12-13 November 2025 menjadi sorotan karena dituding berlangsung secara terburu-buru. Dalam rapat tersebut, pihak pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan dari berbagai pihak, termasuk dari koalisi masyarakat sipil.
Namun, beberapa pasal yang dibaca dalam rapat justru dianggap berbeda dari masukan asli yang diajukan oleh koalisi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen pemerintah dalam mempertimbangkan suara masyarakat.
Pembahasan yang dilakukan dianggap terlalu singkat dan tidak substansial, tidak ada perubahan berarti dari draf awal yang sudah diajukan. Hal ini tidak memenuhi harapan koalisi yang ingin melihat RUU lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Masalah Serius pada Pengaturan Penangkapan dan Penahanan
Koalisi juga menyoroti isu penangkapan dan penahanan yang dinilai amburadul, seperti contoh kasus dalam demonstrasi Agustus lalu. Peneliti ICJR, Iftitah Sari, mengungkapkan bahwa penangkapan dilakukan tanpa prosedur yang benar, merugikan banyak pihak.
Koalisi menginginkan agar RUU KUHAP yang baru bisa berfungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan arbitrer aparat penegak hukum. Melalui pengaturan yang lebih ketat, harapannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, terdapat perhatian besar terhadap metode penyelidikan yang baru, seperti operasi pembelian terselubung dan pengiriman di bawah pengawasan. Metode ini, jika tidak diatur dengan baik, berpotensi disalahgunakan.
Kewenangan Besar Tanpa Pengawasan yang Berbahaya
Dalam RUU KUHAP yang sedang dibahas, kewenangan untuk melakukan penyelidikan akan terbuka untuk semua jenis tindak pidana. Tanpa adanya pengawasan dari hakim, hal ini dapat memicu penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Koalisi khawatir bahwa tanpa batasan yang jelas, aparat penegak hukum dapat dengan mudah menciptakan atau merekayasa kasus. Ini adalah situasi yang sangat berbahaya bagi masyarakat, apalagi bagi mereka yang rentan terhadap penangkapan.
Oleh karena itu, koalisi meminta agar semua pihak yang terlibat dalam proses pembahasan RUU KUHAP untuk tidak terburu-buru dalam pengesahannya. Mereka berharap agar pemangku kebijakan mendengarkan masukan dan memastikan bahwa RUU ini tidak merugikan masyarakat.
Permintaan Terbuka untuk Transparansi dan Keterlibatan Masyarakat
Koalisi Masyarakat Sipil mengeluarkan somasi terbuka kepada berbagai instansi pemerintah yang terlibat dalam pembahasan. Mereka meminta agar DPR membuka akses terhadap draf terbaru RUU KUHAP yang sedang dibahas secara mendetail.
Transparansi dalam proses legislative ini penting untuk memastikan bahwa semua pihak dapat memberikan masukan secara konstruktif. Dengan cara ini, diharapkan RUU KUHAP bisa diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh, koalisi meminta pemerintah untuk merombak substansi RUU KUHAP dan menyusun kembali konsep yang menguatkan mekanisme judicial scrutiny dan check and balance. Hal ini diperlukan untuk menjamin hak-hak masyarakat tidak terabaikan.













