FAR (14), seorang santri asal Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur, mengalami perundungan yang parah di pondok pesantren di Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Kasus ini melibatkan kekerasan yang diduga dilakukan oleh dua rekannya sesama santri, RR (14) dan AA (14), hingga menyebabkan FAR mengalami luka fisik dan trauma psikologis.
Perundungan ini dimulai sejak FAR baru dua bulan menempuh pendidikan di pesantren tersebut. Dia sering kali menjadi target ejekan, di mana RR tidak hanya merampas barang-barangnya tanpa izin tetapi juga melontarkan kata-kata kasar yang membuatnya merasa tertekan.
Pada 7 Oktober 2025, insiden kekerasan itu mencapai puncaknya. FAR mendapati salah satu pakaian miliknya berada di jemuran RR, dan saat ia menegur dengan sopan, RR justru menjawab dengan kemarahan dan tantangan untuk bertengkar.
Rincian Kasus Perundungan yang Dialami FAR
Puncak konflik tersebut berakhir dengan perkelahian singkat yang melibatkan AA, seorang teman seangkatannya. Akibatnya, FAR mengalami luka di mata dan memar di berbagai bagian tubuhnya, hingga mengharuskannya untuk meminta dijemput ibunya dari pesantren karena tidak merasa aman lagi.
Ibu FAR, WN (32), mengungkapkan bahwa ia sangat terkejut ketika melihat kondisi anaknya. Tubuh FAR penuh dengan lebam yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan dari teman-temannya di pesantren.
WN menyatakan bahwa perundungan terhadap FAR bukanlah hal baru, melainkan sudah terjadi beberapa kali sebelumnya. Dia menganggap pihak pesantren tidak menanggapi dengan serius dugaan kekerasan tersebut, bahkan menyebutnya sebagai pelanggaran ringan.
Respons Pihak Pondok Pesantren terhadap Kasus Ini
Sikap pihak pesantren yang dianggap tidak tegas terhadap perilaku RR semakin menambah rasa kecewa WN. Pihak pesantren terlihat lebih memilih untuk mengabaikan laporan-laporan yang sering diajukan oleh para santri mengenai tindakan serupa dari RR.
Kendati WN telah menyuarakan kekhawatirannya tentang keselamatan anak-anak lain, tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak pesantren terkesan sangat minim. Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem keamanan di lingkungan pendidikan tersebut.
Menurut WN, tidak hanya FAR, tetapi juga beberapa santri lainnya telah menjadi korban dari prilaku RR, yang seharusnya sudah mengambil langkah untuk menghindari terulangnya insiden serupa di masa depan.
Langkah Hukum yang Ditempuh oleh Keluarga FAR
Merasa tidak mendapatkan keadilan yang layak, WN memutuskan untuk menarik FAR dari pesantren dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Ia berharap langkah hukum ini dapat memberi efek jera kepada pelaku serta mendorong pihak pesantren untuk lebih serius dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi dalam lingkungan mereka.
Pada tanggal 9 Oktober 2025, laporan resmi diajukan ke Polres Lamongan, dan sudah terdaftar dengan nomor LP/B/313/X/2025/SPKT/POLRES LAMONGAN/POLDA JAWA TIMUR. WN menginginkan agar kasus ini ditangani dengan bimbingan hukum yang tepat.
Dalam pengakuannya, WN menegaskan bahwa bukan hanya anaknya yang harus mendapatkan keadilan, tetapi juga anak-anak lain yang mungkin mengalami hal serupa. Ia menginginkan adanya perubahan dalam penanganan kasus perundungan di lingkungan pendidikan keagamaan.
Pentingnya Kesadaran akan Bahaya Perundungan di Lingkungan Pendidikan
Kasus perundungan seperti yang dialami FAR menyoroti perlunya kesadaran lebih besar tentang bahaya bullying di lingkungan pendidikan. Pihak sekolah dan pesantren harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi semua siswa.
Perundungan tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga dapat mengganggu kesehatan mental korban. Oleh karena itu, rekomendasi budi pekerti yang baik dan pelatihan bagi pendidik sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Kesadaran kolektif diperlukan untuk melawan sikap tak peduli yang sering terjadi di masyarakat. Melibatkan orang tua, guru, dan siswa dalam program-program pencegahan perundungan menjadi langkah penting untuk memperbaiki kondisi ini di masa depan.













