Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada 10 November. Penganugerahan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional, dan menjadi momen penting bagi keluarga Soeharto yang diwakili oleh dua anaknya, Siti Hardijanti alias Tutut dan Bambang Trihatmodjo, dalam menerima penghargaan tersebut.
Keputusan tersebut diambil berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025. Penghargaan ini menandakan pengakuan resmi atas kontribusi Soeharto selama kepemimpinan yang berlangsung dari tahun 1967 hingga 1998.
Soeharto, yang lahir di Yogyakarta pada 8 Juni 1921, memimpin Indonesia selama 32 tahun, menjadikannya presiden dengan masa jabatan terlama dalam sejarah negeri ini. Selama masa pemerintahan, ia sering disebut sebagai “Bapak Pembangunan Nasional”.
Pembangunan Berbasis Program Lima Tahun yang Ambisius
Julukan “Bapak Pembangunan Nasional” diemban Soeharto berkat berbagai program pembangunan yang diluncurkannya. Salah satu strategi utama adalah Program Pembangunan Lima Tahun atau Pelita, yang dimulai pada tahun 1969.
Pada Pelita I, fokus utama adalah pembangunan infrastruktur pertanian untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Di Pelita II, perhatian dialihkan untuk pengembangan daerah di luar Jawa, Bali, dan Madura, termasuk program transmigrasi yang bertujuan mengurangi kepadatan penduduk.
Pelita III membawa semangat pemerataan, memastikan akses pendidikan dan kesempatan kerja yang setara bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun mengantarkan banyak kemajuan, banyak yang menganggap kepemimpinan Soeharto telah berlangsung terlalu lama, menimbulkan perdebatan di kalangan elit politik dan masyarakat.
Pengunduran Diri dan Pembaruan Demokrasi di Indonesia
Mei 1998 menjadi momen krusial bagi Republik Indonesia. Setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dalam situasi yang dipenuhi ketidakpuasan masyarakat akibat krisis ekonomi.
Gejolak sosial yang terjadi berkaitan erat dengan krisis ekonomi yang mulai melanda Indonesia pada tahun 1997. Nilai rupiah yang merosot tajam mengakibatkan lonjakan inflasi dan meningkatkan ketidakstabilan di masyarakat.
Puncak protes terjadi pada 19 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR. Taktik politik yang dilakukan oleh oposisi memaksa Soeharto untuk mengumumkan pengunduran dirinya tanpa adanya sidang istimewa.
Reaksi Masyarakat terhadap Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional
Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menuai reaksi campur-baur di masyarakat. Sementara beberapa pihak memandangnya sebagai pengakuan yang layak, banyak pula yang menolak berdasarkan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi selama masa pemerintahannya.
Berbagai lembaga, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyatakan bahwa penganugerahan ini diwarnai oleh benturan kepentingan dan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi. Mereka menekankan bahwa banyak orang yang menderita akibat tindakan pemerintah Soeharto.
Ketidakpuasan juga datang dari dalam komunitas ulama dan masyarakat sipil, di mana banyak tokoh mengingat kembali berbagai tindakan represif yang dilakukan selama masa pemerintahan Soeharto. Posisi ini menambah ketegangan dalam diskusi publik mengenai warisan kepemimpinan Soeharto.













